Sesekali mau posting yang agak ilmiah dikit nih wkwk... khususnya tentang gempa dan tsunami. Aku pribadi seneng si belajar tentang kebencanaan juga, jadi mau share sebuah artikel yang aku adopt sepenuhnya (literally 100%) dari video dokumenter nya NHK tentang misteri tsunami 40 meter pada gempa Jepang 2011. Yes, pada peristiwa gempa dan tsunami 2011 di Tohoku, Jepang atau yang dikenal sebagai Great East Japan Earthquake (di Jepang) atau peristiwa 3.11 ini ketinggian tsunami pasca gempa nya mencapai 40.5 meter di titik tertinggi nya yang bahkan bikin orang Jepang nya sendiri keheranan. Kira2 apa ya yang menyebabkan tsunami nya bisa sampai setinggi itu? Nah mari kita ikuti penelusuran nya dibawah ini.
Gempa dengan magnitudo 9.0 - 9.1 yang terjadi pada pukul 14:46 JST 11 Maret 2011 ini adalah gempa terbesar yang pernah tercatat di Jepang dan gempa nomer 4 terkuat di dunia sejak pengukuran modern gempa bumi dimulai tahun 1900. Gempa yang disertai tsunami dahsyat ini berpusat di bawah laut Samudera Pasifik, 72 km sebelah timur Semenanjung Oshika di Tohoku. Bencana ini mengakibatkan 19.747 orang meninggal, 6242 terluka dan 2556 hilang. Tsunami yang terjadi mengakibatkan bencana nuklir Fukushima Daiichi, selain itu salju yang turun dan suhu yang rendah mengakibatkan proses evakuasi terhambat. Bencana ini adalah "bencana alam paling mahal" yang pernah tercatat dalam sejarah dunia dengan kerugian total mencapai 220 miliar USD, sekaligus membuat pertumbuhan GDP Jepang sampai melambat 0.47% poin di tahun berikutnya.
Reruntuhan di Ofunato, prefektur Iwate, Jepang pasca tsunami melanda (Petty Officer 1st Class Matthew Bradley/U.S. Navy photo)
Bukan Jepang namanya kalo nggak belajar dari kesalahannya, sebagai negara dengan sistem manajemen bencana yang disebut terbaik di dunia (menurut Bank Dunia) sekaligus negara yang dianggap paling siap menghadapi tsunami, peristiwa 3.11 ini memberi Jepang banyak pelajaran berharga yang semoga juga bisa dipelajari oleh seluruh dunia khususnya Indonesia. Sebelumnya mari kita simak sedikit kenapa sih Jepang dianggap sebagai negara dengan sistem manajemen bencana (khususnya gempa dan tsunami) terbaik di dunia.
Jepang punya sistem yang namanya Earthquake Early Warning atau sistem deteksi dini gempa. Sistem ini dikelola oleh JMA (Japan Meteorological Agency) atau semacem BMKG-nya Jepang lah ya, yang terdiri dari kurang lebih 4235 seismometer yang tersebar di seantero negeri. Ketika ada gelombang primer dari gempa yang terdeteksi di 2 atau lebih seismometer, JMA akan memprediksi dan menganalisa lokasi pusat gempa dan kemudian memberi peringatan dini kepada prefektur terkait lewat TV dan radio jika getaran besar diperkirakan akan terjadi. Pada kasus gempa 2011 ini, 1 menit sebelum gempa dahsyat mengguncang Tokyo, peringatan akan terjadinya guncangan dahsyat (bahkan hingga perkiraan area mana yang rawan) sudah dikeluarkan di TV loh. Ini dia detik2 momen nya. Saat itu TV nya lagi nyiarin semacem rapat anggota parlemen gitu secara langsung (kalo disini rapat DPR kali yak) terus tiba2 dihentikan karena ada peringatan gempa dahsyat akan terjadi, eh beberapa detik kemudian beneran kejadian. Bayangin kalo di Indonesia kalian lagi nonton sinetron terus tiba2 dihentikan karena ada pengumuman yang bilang 1 menit lagi akan ada gempa, apa yang akan kalian lakukan? ngambil kamera buat video kah? >.<
Keren ya, buat establish sistem seperti itu dan menjaganya bisa berjalan dengan baik itu ga mudah loh, perlu kerjasama dari banyak pihak. Indonesia aja sampe sekarang belum bisa, BMKG paling update ngasih kabar beginian lewat twitter, nah kalo orang yang gapunya twitter (kayak saya) atau lagi gabuka medsos piye dong... Eits mungkin kalian jadi penasaran, berarti gempa bisa di prediksi dong? Sebenernya yang Jepang lakukan disini bukan memprediksi, tapi hanya sebatas deteksi dini, karena sampai sekarang belum ada yang bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi.
Theoretically, saat gempa terjadi ada 3 jenis gelombang yang akan datang (ini maksudnya gelombang getaran ya bukan gelombang air wkwk), gelombang primer, gelombang sekunder dan gelombang Rayleigh. Nah yang pertama datang itu dan yang paling cepat merambatnya adalah gelombang primer, tapi gelombang ini nggak merusak, yang merusak itu gelombang sekunder dan Rayleigh yang datang setelahnya. Untuk gempa kecil, jarak waktu antara gelombang primer dengan gelombang lainnya cuman beberapa detik aja, tapi untuk gempa dengan skala besar seperti 3.11 ini jarak waktunya bisa sampe 1.5 menit. Nah inilah yang Jepang lakukan, mereka nyebar banyak seismometer sehingga ketika ada gelombang primer yang kebaca mereka punya waktu buat menganalisa dan mengirimkan peringatan dini ke daerah terdampak sebelum gempa actual nya terjadi.
Meski keliatannya simple, tapi ini sulit lho di aplikasikan. Biar kita bisa punya cukup waktu untuk mendeteksi, menganalisa sampai ngirim peringatan dini yang di broadcast ke TV itu kita harus punya tools buat monitor yang banyak dan terintegrasi, dalam hal ini peran SDM juga penting untuk mengelola sistem ini agar bisa berjalan baik. Tapi itu akan worth it banget, bayangkan kalian tinggal di kota sebesar Tokyo, bisa dapet peringatan kalo akan terjadi guncangan dahsyat 1 menit sebelum kejadian bisa menyelamatkan banyak nyawa. Apalagi kalo kalian tinggal di pesisir pantai, sebelum gempa dahsyat bener2 terjadi kalian bisa langsung mulai evakuasi ke dataran yang lebih tinggi untuk menghindari kemungkinan terjadinya tsunami. Karena dari contoh kasus 3.11 ini, justru tsunami nya (bukan gempa nya) yang menimbulkan banyak korban jiwa dan material serta kerusakan, apalagi buat Jepang ya yang bangunan nya emang udah banyak yang tahan gempa. Coba kalian bandingkan jumlah korban jiwa di Jepang yang "hanya" kurang dari 25.000 orang, dengan total korban jiwa yang mencapai 227.898 orang pada gempa dan tsunami di Samudera Hindia tahun 2004, padahal jarak antara gempa dan tsunami 3.11 cuman 10-30 menit, sedangkan pada kejadian gempa dan tsunami di Samudera Hindia jarak delay nya sampai beberapa jam.
Nah dengan persiapan yang udah matang seperti itu aja, Jepang masih bisa dianggap "kecolongan" nih di 3.11 ini. Pasalnya, ketinggain tsunami nya sampe 40 meter dan itu bener2 diluar prediksi mereka, kenapa ya bisa sampai seperti itu? 40 meter itu kurang lebih kayak tinggi bangunan 10 lantai loh.
Untuk menghadapi tsunami, Jepang udah meng-install seawall atau tembok laut di beberapa daerah yang dianggap rawan, terutama yang padat penduduk. Pada tahun 2011, tsunami mencapai puncak tertinggi nya di kota Miyako, Prefektur Iwate. Distrik Taro yang terletak di daerah ini punya seawall dengan tinggi 10 meter dan panjang 2.4 km. Dindingnya sampe dibikin kembar bahkan, untuk mengurangi intensitas tsunami nya. Tapi ternyata pada peristiwa 3.11 dinding itu masih belum cukup untuk menahan laju tsunami yang terjadi. Tsunami menerjang pesisir pantai dengan ketinggian 17.3 meter dan terus tumbuh hingga ketinggian 40 meter seiring masuk ke dalam daratan. Nah ini yang bikin peneliti Jepang bingung padahal dengan intensitas gempa sebesar itu ga mungkin tuh harusnya tsunami yang diakibatkannya sampe 40 meter tingginya. Oh ya mereka bukan bingung kenapa tsunami nya tinggi nya bisa tumbuh ya, karena itu wajar... semakin dekat dengan permukaan, semakin dangkal jarak antara muka air dengan dasarnya akan semakin tinggi sebuah gelombang... coba kalian perhatikan saat main di pantai, sebelum sampai di pantai ombak itu cuman gulungan kecil dulu kan di tengah laut terus seiring jalan ke darat dia makin tinggi dan bikin buih. Disini mereka bingung kenapa dari awal aja udah sampe 17.3 meter tingginya.
Karena di daerah yang posisinya tegak lurus sama pusat gempa nya aja dan paling deket sama pusat gempa (yang seharusnya mengalami tsunami paling dahsyat) ketinggiannya ga sampe segitu. Prefektur Miyagi yang paling dekat dengan pusat gempa dan mengalami getaran paling dahsyat hanya mencatat ketinggian tsunami ga lebih dari 15 meter. Kenapa Prefektur Iwate yang terletak lebih jauh di utara dari pusat gempa justru mengalami gelombang tsunami yang jauh lebih tinggi?
Jawabannya terletak jauh di dasar laut. Ternyata setelah diteliti, salah satu penyebabnya adalah anomali pada karakteristik lempeng di sekitar lepas pesisir Prefektur Iwate, dimana kalau pada normalnya lempeng itu gak "lentur" sehingga pergeseran nya saat terjadi gempa mendadak dan tiba2 (makanya getaran nya dahsyat), lempeng disana tuh agak lentur jadi pergeseran nya perlahan (getaran nya nggak besar) tapi total disposisi nya jadi lebih besar. Hmm buat kalian yang ga kuliah geologi mungkin agak bingung ya wkwk, silakan bisa liat contoh animasi nya di video dokumenter dibawah ini ya biar kebayang, ini video dokumenter yang aku jadiin referensi utama artikel ini, untuk penjelasan ini ada di menit ke-27.
Gampangnya coba bayangin kayak gini aja kali ya, coba kalian letakkan kepalan tangan kalian di bawah air, terus angkat dengan cepat, nah gelombang yang ditimbulkan pasti ga akan sebesar ketika kalian angkat dengan perlahan kan? dengan catatan di tes di dan dari kedalaman yang sama ya. Begitu kira2, tapi seharusnya ini aja ga cukup untuk menjelaskan kenapa perbedaan tinggi tsunami nya bisa sebesar itu. Apakah ada penjelasan lain? Ternyata baru2 ini kunci permasalahannya bisa kita liat juga di Indonesia.
Pada tanggal 28 September 2018, terjadi gempa yang disusul tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Gempa ini punya magnitudo 7.5 tapi yang mengherankan adalah tsunami nya, karena tsunami yang melanda punya ketinggian hingga 7 meter, jauh lebih besar dari yang diperkirakan BMKG saat itu, yang hanya 0.5 - 3 meter. Penyebab tsunami nya jadi lebih besar ternyata karena longsoran bawah laut. Setelah dilihat dari data kedalaman, ada area kurang lebih 500 meter di dasar laut yang meningkat ketinggiannya, disebabkan karena ada longsoran yang terjadi yang dipicu gempa. Dan akhirnya di kenal-lah istilah "Silent Tsunami", yaitu tsunami yang terjadi karena longsoran di bawah laut. Ini jadi menambah daftar penyebab tsunami yang sebelumnya hanya diketahui beberapa, yaitu karena gempa, letusan gunung api dan longsoran di darat. Dinamain silent karena ya bener2 ga keliatan tiba2 muncul aja gelombang nya. Intensitas tsunami ini bergantung dari besarnya longsoran yang terjadi, pada kasus 3.11, hasil simulasi yang dikembangkan Imamura Fumihiko, profesor dari Universitas Tohoku menunjukkan adanya longsoran besar yang terjadi di bawah laut pesisir Iwate yang terjadi kurang lebih 2.5 menit setelah tsunami yang dipicu gempa mulai terbentuk, longsoran ini memperbesar dan memperluas intensitas tsunami yang dibentuk awalnya oleh gempa.
Gabungan kedua fenomena ini (longsoran bawah laut yang dipicu gempa besar dan karakteristik lempeng yang lentur) yang mengakibatkan tsunami dengan ketinggian mencapai 40 meter. Silent tsunami ini yang bisa mengakibatkan bencana tsunami yang jauh lebih parah dibanding yang diperkirakan. Nah langsung dah tuh Jepang meta-in literally semua daerah di bawah laut yang dianggap rawan terjadi longsoran bawah laut di sekitar negara nya buat menjadi data acuan untuk prediksi di masa mendatang... mantap ya, semoga Indonesia bisa mengikuti dan menyusul.
Bahkan mereka jadi menemukan kalo ada area bawah laut yang rawan longsor (dan bikin silent tsunami) di deket Tokyo dan Osaka, 2 kota penting di Jepang. Tsunami nya diperkirakan bisa sampe 4.6 meter, hal ini membuat Jepang kembali mengevaluasi sistem manajemen bencana nya. Untuk mencegah hal ini terulang, mereka mencoba mengubah sistem deteksi tsunami nya. Kalo dulu buat deteksi tsunami kita memperkirakan tinggi gelombang dari getaran yang dirasakan (ini yang sekarang masih dipakai di Indonesia), sekarang mereka mencoba langsung ukur ketinggian muka air yang terbentuk di laut. Salah satu caranya adalah dengan menempatkan water pressure gauges di dasar laut yang jauh dari pesisir dekat dengan pusat gempa. Alat ini otomatis mencatat ketinggian muka air yang terbentuk setelah terjadinya gempa apabila menimbulkan tsunami dan mengirimkan datanya ke pusat monitor, semacem naro kabel panjang dan alat deteksi gitu di sepanjang area nya dan udah mencakup hampir seluruh pesisir timur dan timur laut Jepang.
Pada akhirnya, pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa ini adalah dalam menghadapi kekuatan alam, manusia memang tidak berdaya, tapi kita bisa selalu belajar dari kesalahan kita.
Sampai bertemu di post berikutnya! Mata kondo oai shimashoo!
“A tornado of thought is unleashed after each new insight. This in turn results in an earthquake of assumptions. These are natural disasters that re-shape the spirit.”
― Vera Nazarian, The Perpetual Calendar of Inspiration
Matt Dunham—AP/Shutterstock.com
All other pictures credit go to NHK World Japan Documentary
Content references:
https://en.wikipedia.org/wiki/2011_T%C5%8Dhoku_earthquake_and_tsunami#Tsunami
https://en.wikipedia.org/wiki/Earthquake_Early_Warning_(Japan)
https://en.wikipedia.org/wiki/Lists_of_earthquakes#Largest_earthquakes_by_magnitude
https://www.britannica.com/event/Japan-earthquake-and-tsunami-of-2011/Aftermath-of-the-disaster
https://www.ncei.noaa.gov/news/day-2011-japan-earthquake-and-tsunami
https://en.wikipedia.org/wiki/2004_Indian_Ocean_earthquake_and_tsunami
https://en.wikipedia.org/wiki/2018_Sulawesi_earthquake_and_tsunami
This post is fully inspired by (and based on) NHK World Japan Documentary, "The 40-Meter Tsunami"
Comments